Oleh: Salman Mardira - 27/01/2010 - 14:40 WIB
BANDA ACEH | ACEHKITA.COM — Protes atas dibekukannya Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Aceh berlanjut. Sebanyak 23 LSM peduli soal perlindungan anak dan perempuan, mengecam keras sikap Pemerintah Aceh.
“KPAID tidak perlu dibubarkan. Hanya dibutuhkan evaluasi menyeluruh atas kinerja pengurusnya,” kata Norma Susanti, dari Divisi Perempuan dan Anak, Koalisi NGO HAM Aceh, kepada wartawan di Banda Aceh, Rabu (27/1).
Menurutnya, membekukan KPAID hanya akan memperlemah kinerja Pemerintah Aceh dalam melindungi anak. Keberadaan KPAID diperlukan untuk mengawasi dan memastikan penyelenggaraan perlindungan anak oleh pemerintah di Aceh.
Taufik Riswan, dari Koalisi Advokasi Pemenuhan Hak Anak Aceh (KAPHA), mengkhawatirkan pembubaran KPAID akan menambah kesulitan mencegah dan menangani permasalahan anak terjadi di Aceh.
KPAID Aceh, kata dia, sudah bekerja dalam melindungi anak di Aceh, tapi belum maksimal. “Jadi butuh evaluasi, bukan dibubarkan.”
Menurutnya, ada 58 kasus anak yang kini masih ditangani KPAID Aceh, di antaranya terkait pelecehan seksual, trafficking, penelantaran anak, dan lainnya. “Kalau dibubarkan, siapa yang akan melanjutkan yang ini,” ujar Taufik.
Keputusan pembekuan KPAID tertuang dalam surat keputusan diteken Sekretaris Daerah Husni Bahri TOB, atasnama Gubernur Aceh, tertanggal 20 Januari 2009. Di poin 2 surat itu disebutkan, KPAID tak diperlukan, karena segala urusan perlindungan anak merupakan kewenangan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A).
Menurut Norma, KPAID mutlak diperlukan untuk mengawasi kinerja BP3A. “Karena KPAID adalah lembaga independen.”
Menurutnya, KPAID itu lembaga independen yang berwenang mengawasi dan mendesak dinas atau badan-badan di pemerintah daerah dalam mengurus masalah anak.
“Dia independen. Hanya KPAID yang berhak menegur SKPA jika misalnya ditemukan tidak serius menangani masalah anak,” kata Norma.
Mereka mendesak Pemerintah Aceh mencabut surat pembekuan itu, kemudian meminta DPR Aceh untuk merekrut dan menyeleksi pengurus KPAID Aceh yang baru.[]
“KPAID tidak perlu dibubarkan. Hanya dibutuhkan evaluasi menyeluruh atas kinerja pengurusnya,” kata Norma Susanti, dari Divisi Perempuan dan Anak, Koalisi NGO HAM Aceh, kepada wartawan di Banda Aceh, Rabu (27/1).
Menurutnya, membekukan KPAID hanya akan memperlemah kinerja Pemerintah Aceh dalam melindungi anak. Keberadaan KPAID diperlukan untuk mengawasi dan memastikan penyelenggaraan perlindungan anak oleh pemerintah di Aceh.
Taufik Riswan, dari Koalisi Advokasi Pemenuhan Hak Anak Aceh (KAPHA), mengkhawatirkan pembubaran KPAID akan menambah kesulitan mencegah dan menangani permasalahan anak terjadi di Aceh.
KPAID Aceh, kata dia, sudah bekerja dalam melindungi anak di Aceh, tapi belum maksimal. “Jadi butuh evaluasi, bukan dibubarkan.”
Menurutnya, ada 58 kasus anak yang kini masih ditangani KPAID Aceh, di antaranya terkait pelecehan seksual, trafficking, penelantaran anak, dan lainnya. “Kalau dibubarkan, siapa yang akan melanjutkan yang ini,” ujar Taufik.
Keputusan pembekuan KPAID tertuang dalam surat keputusan diteken Sekretaris Daerah Husni Bahri TOB, atasnama Gubernur Aceh, tertanggal 20 Januari 2009. Di poin 2 surat itu disebutkan, KPAID tak diperlukan, karena segala urusan perlindungan anak merupakan kewenangan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A).
Menurut Norma, KPAID mutlak diperlukan untuk mengawasi kinerja BP3A. “Karena KPAID adalah lembaga independen.”
Menurutnya, KPAID itu lembaga independen yang berwenang mengawasi dan mendesak dinas atau badan-badan di pemerintah daerah dalam mengurus masalah anak.
“Dia independen. Hanya KPAID yang berhak menegur SKPA jika misalnya ditemukan tidak serius menangani masalah anak,” kata Norma.
Mereka mendesak Pemerintah Aceh mencabut surat pembekuan itu, kemudian meminta DPR Aceh untuk merekrut dan menyeleksi pengurus KPAID Aceh yang baru.[]






0 Komentar:
Posting Komentar