ead KASUS PEMIDANAAN ANAK DI BAWAH UMUR ~ KAPHA ACEH

Sabtu, Februari 09, 2013

KASUS PEMIDANAAN ANAK DI BAWAH UMUR

Baru – baru ini mencuat kasus pemidanaan seorang anak yang masih duduk di bangku SMK. Kasus itu terkait pencurian sepasang sandal jepit milik seorang petugas kepolisian yang dilakukan oleh anak tersebut. Kontroversi kasus ini menyebabkan banyak protes dan kritikan tajam dilontarkan oleh segenap masyarakat Indonesia yang ditujukan kepada lembaga – lembaga yang memproses perkara tersebut.

Ini membuktikan bahwa sistem peradilan di Indonesia belumlah sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat terutama menyangkut peradilan anak di bawah usia cakap hukum. Diperlukan perhatian khusus oleh pemerintah dan lembaga – lembaga penegak hukum lainnya di dalam penyempurnaan hukum dan proses ber-acaranya.

Setidaknya terdapat dua versi kronologis kasus pencurian sandal jepit oleh anak di bawah umur tersebut. Versi yang diceritakan oleh tersangka, sebut saja Aal (15 tahun) seorang pelajar SMK 3 Palu Sulawesi Tengah, dan versi yang diceritakan oleh Mabes Polri.

Berikut versi yang diceritakan oleh Aal. Kasus ini berawal dan terjadi di Sulawesi Tengah pada November 2010 saat itu Aal dan teman-temannya menemukan sepasang sandal di Jalan Zebra di luar pagar kos Briptu Rusdi Harahap seorang anggota Polri. Karena mengira sandal tersebut tak bertuan maka Aal membawanya pulang. Kemudian pada Mei 2011, Briptu Rusdi memanggil Aal dan teman – temannya yang saat itu sedang melintas di depan kos anggota Polri tersebut.

Dengan membentak dan berkata kasar Briptu Rusdi menanyakan prihal sandal yang sudah diambil oleh Aal. Kemudian Aal berkilah bahwa dia tidak tahu kalau sandal itu ada yang punya karena pada saat diambil sandal tersebut berada di wilayah umum (berada di jalan dan jauh di luar kos). Mendengar alasan itu Briptu Rusdi melayangkan pukulan kepada Aal dan teman – temannya. Tidak hanya itu, Aal dan teman – temannya juga disekap di kos serta dipukuli oleh Briptu Rusdi dan memaksa Aal dan teman – temannya untuk mengakui pencurian – pencurian sandal sebelumnya yang telah dituturkan oleh Briptu Rusdi bahwa sudah terjadi sebanyak 3 (tiga) kali. Penyekapan dan penganiayaan tersebut berlangsung dari pukul 20.00 WITA hingga lewat pukul 22.30 WITA (yaitu pada saat Aal dipanggil pulang oleh orang tuanya).

Setelah peristiwa tersebut Aal dipanggil ke Polda dan di BAP setelah itu divisum. Setelah divisum Aal dijanjikan akan ditangani dan diproses perihal pemukulan dan penganiayaan yang terjadi padanya. Tetapi kemudian proses penanganan perkara pemukulan dan penganiayaan tersebut tidak diangkat dan malahan Aal dimeja-hijaukan atas tuduhan pencurian sandal dan terkena pasal 362 KUHP yang berbunyi:


“Barangsiapa mengambil barang secara menyeluruh atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.

Adapun versi yang didapat dari Mabes Polri adalah hampir serupa dengan versi yang diceritakan oleh tersangka. Perbedaannya adalah :
Adanya perbedaan usia terlapor yaitu disebutkan oleh versi Mabes bahwa terlapor berusia 17 tahun sedangkan menurut versi yang diceritakan pihak tersangka, terlapor pada saat itu masih berusia 15 tahun;
Pada versi Mabes tidak disinggung telah terjadi perkara pemukulan dan penganiayaan terhadap terlapor yang dilakukan oleh pihak korban (Briptu Rusdi);
Pada versi Mabes yang bersikeras mengajukan kasus tersebut ke meja hijau adalah pihak terlapor dan pengacaranya. Pada 28 Mei 2011 pihak terlapor melaporkan korban (Briptu Rusdi) ke Propam. Kemudian atas hal tersebut pihak korban (Briptu Rusdi) membuat laporan. Pihak terlapor dan pengacaranya kemudian meminta agar kasus tersebut dibawa ke pengadilan sehingga ditetapkan JPU dan masuk ke pengadilan.

Proses kasus pencurian sandal jepit tersebut tidak bisa dikatakan suatu proses peradilan yang layak dan adil karena pelaku adalah bukan orang yang memiliki profesi sebagai pencuri dan usianya masih dibawah umur (sesuai dengan versi yang dituturkan oleh tersangka). Ketentuan pemrosesan hukum bagi anak yang dibawah umur diatur :
Dalam KUHP pasal 45 disebutkan dalam hal penuntutan pidana terhadap anak yang belum berusia 16 (enam belas) tahun maka hakim dapat memerintahkan supaya anak tersebut dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, pemeliharanya, atau pemerintah, tanpa pidana apapun. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang peradilan anak bahwa usia 18 tahun baru bisa di proses tuntutan pidananya, ini tentang ketentuan normanya;
Mahkama Konstitusi dalam putusan Nomor 1/PUU-VIII/2010 menyebutkan dan menetapkan bahwa:

Anak dapat dikategorikan sebagai “Anak Nakal” melalui proses peradilan dan dapat dibenarkan dan/atau dicek kebenarannya oleh siapapun dan dibuktikan di muka hukum;
Batasan usia minimal pertanggung-jawaban hukum bagi anak adalah 12 (dua belas) tahun agar tidak bertentangan dengan UUD 1945;
Batas usia minimal tersebut berimplikasi hukum terhadap batas umur minimum bagi “Anak Nakal” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang peradilan anak yang menyatakan “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.
Selain itu, Pasal 23 ayat (2) huruf a Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang peradilan anak telah menyebutkan alternatif-alternatif pidana bagi “Anak Nakal” selain pidana penjara yaitu pidana kurungan, pidana denda atau pidana pengawasan. Kemudian, Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang peradilan anak merupakan penegasan keberadaan Lembaga Pemasyarakatan Anak dan keharusan aparat penegak hukum untuk tidak menempatkan “Anak Nakal” yang dinyatakan bersalah di Lembaga Pemasyarakatan bagi orang dewasa. Dengan demikian mempertegas keberadaan Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagai wadah pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja bagi “Anak Nakal” yang diputus menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak.

Tujuan dari hukuman adalah untuk membina dan memperbaiki sehingga terciptalah kehidupan yang harmonis dan stabil. Proses hukum haruslah mengedepankan aspek kemanusiaan terlebih lagi masalah pidana anak. Hakim, jaksa, dan polisi diharapkan lebih bisa menggunakan hati nurani ketimbang hanya berdasarkan pada landasan hukum formil semata.

Kita sebagai warga negara Indonesia bertanggung jawab dalam perlindungan hak-hak setiap anak karena anak adalah generasi penerus bangsa Indonesia. Hak-hak tersebut termasuk hak memperoleh perlindungan secara fisik, mental atau sosial dan juga hak anak ketika sedang berhadapan dengan hukum. Sesuai dengan Pasal 16 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, serta Keputusan Bersama 4 Kementerian, Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyatakan bahwa penahanan/pemenjaraan terhadap anak adalah upaya terakhir, dengan mengedepankan pendekatan Keadilan Restoratif sebagai landasan penyelesaian pidana bagi anak yang berhadapan dengan hukum.

Kesimpulan
Kasus pencurian sandal ini tidaklah layak diteruskan ke meja hijau dikarenakan tersangka masih di bawah usia pertanggung-jawaban berdasarkan ; KUHP pasal 45, keputusan MK No. 1/PUU-VIII/2010, Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang peradilan anak pasal 1 ayat (1) jo pasal 23 ayat (2) huruf a;
Kasus ini memerlukan penyelidikan dan penyidikan lebih jauh dikarenakan adanya perbedaan 2 (dua) versi kronologis yang substansial dan mengarah pada adanya usaha menutup-nutupi kebenaran dan keadilan dari aparat dan lembaga – lembaga hukum yang terlibat dalam pemrosesan perkara pencurian sandal tersebut.

0 Komentar:

Posting Komentar