ead Anak Aceh Anak Dunia (Refleksi Peringatan Hari Anak Internasional) ~ KAPHA ACEH

Rabu, November 21, 2012

Anak Aceh Anak Dunia (Refleksi Peringatan Hari Anak Internasional)

Rabu, 21 November 2012 07:15 WIB
FIQIH PURNAMA | Foto : ILUSTRASI




TUJUH tahun silam ada sosok anak Aceh yang bernama Martunis saat ditemukan terdampar di Kecamatan Syiah Kuala setelah dibawa gelombang tsunami. Ia ditemukan oleh relawan Inggris setelah belasan hari dalam kondisi tragis. Sontak ketika itu juga media Inggris menyorotinya, hingga sampai mendunia wajah sang bocah yang saat itu berusia 12 tahun.

Saat ditemukan, Martunis mengenakan kostum Tim Nasional Sepakbola Portugal, yang bertuliskan di punggungnya nama bintang sepak bola Dunia Cristiano Ronaldo. Saat itu juga pemain timnas Portugal seperti Ronaldo, Luis Figo dan Nuno Gomes langsung melihat sosok martunis dan menyempatkan untuk menjamunya di Portugal.

Saat ini martunis masih tinggal di kawasan Tibang Syiah Kuala dan terus menjalankan kehidupannya sebagai orang yang sukses. Kepedulian itu bukan hanya untuk Martunis, tapi juga untuk seluruh masyarakat Aceh, terbukti dengan bantuan dari pihak asing.

Setelah itu anak-anak Aceh menjadi perhatian dunia yang sangat utama. Karena anak adalah penerus masa depan bangsa yang.harus dirawat dan dibina secara baik. Sebelum tsunami, Aceh telah dilanda konflik berkepanjangan. Konflik ini merupakan suatu hal yang negatif bagi masa depan anak di kawasan yang dilanda konflik.

Melihat konflik panjang itu masyarakat dunia juga sangat menyoroti anak-anak Aceh, agar jangan sampai trauma berkepanjangan dan juga psikologi negatif akibat konflik. Maka sudah sejak lama-anak-anak Aceh disoroti dunia dalam kondisi kekurangan dan keterbatasan.

Berbicara anak-anak di Aceh yang erat kaitan dengan korban konflik dan korban tsunami akan muncul beberapa sifat anak yang negatif. Anak korban konflik akan cenderung memiliki sifat keras. Sedangkan anak korban tsunami memiliki trauma yang tinggi, membuat tumbuh kembangnya terhambat.

Memang anak Aceh selalu menjadi sorotan dunia. Tapi sorotan terhadap anak Aceh itu lebih cenderung kepada belas kasihan sebagai anak yang terus ditimpa cobaan panjang, baik konflik bersenjata hingga tsunami. Maka sorotan tersebut wajar saja untuk didapatkan.

Dengan pandangan dunia seperti itu, harus ada upaya dari kita semua, baik masyarakat dan Pemerintah Aceh dalam mengubah pandangan dunia terhadap anak Aceh. Anak Aceh jangan dipandang sebagai anak korban konflik, anak Aceh bukan dipandang sebagai anak korban tsunami, tapi anak Aceh harus dipandang sebagai anak berprestasi dunia.

Prestasi anak bukanlah dicenderungkan pada pendidikannya. Tapi prestasi anak bisa dilihat dari kemampuannya di bidang olahraga, tingkat kepedulian sosial anak-anak, sampai juga munculnya setereotip, bahwa anak di Aceh adalah anak-anak yang baik, taat beribadah dan patuh terhadap orang tua.

Pertanyaannya adalah, apakah hal itu sudah menjadi usaha kita dalam mewujudkan anak-anak yang penuh prestasi di segala aspek tersebut? Jawabannya pasti belum.

Jawaban belum itu terbukti sekali, ketika masih sangat minimnya prestasi anak-anak Aceh di bawah 18 tahun. Di kasat mata kita, anak-anak Aceh saat ini masih banyak yang nakal. Masih banyak di kalangan anak yang melawan pada orang tua dan banyak lagi hal-hal negatif untuk anak-anak Aceh saat ini.

Sudahkah kita sebagai orang dewasa dapat menyalahkan diri kita sendiri atas gagalnya anak-anak Aceh saat ini. Tentu jawabannya tidak, kita lebih cenderung menyalahkan anak. Ketika mereka berbuat nakal, kita lebih cenderung menyalahkan mereka. Padahal berbicara anak secara keseluruhan tidak melepas peran orang dewasa.

Misalnya, ketika anak di bawah delapan belas tahun melakukan tindakan kriminal pencurian, hal itu terjadi murni kesalahan orang dewasa. Seberapa jauhkah kita mengayomi anak-anak agar mereka jauh dari tindakan kriminal. Hari ini kita masih belum begitu dekat dengan anak, sehingga mereka lebih mudah terjerumus dalam hal-hal negatif.

Kemudian ketika berbicara akhlak anak yang tidak baik, kita harus melihat kepada diri kita sebagai orang dewasa, sudah seberapa jauhkah kita memberikan hak anak tersebut untuk mengenal Tuhannya agar dia memiliki akhlak yang baik. Tentu ini masih sedikit dilakukan oleh orang dewasa.

Berbicara anak, penulis menyebut anak adalah tanggung jawab kita semua. Berbicara anak bukanlah tanggung jawab dari orang tua biologis anak tersebut, tapi berbicara anak adalah milik kita semua, masyarakat, dan pemerintah. Karena seluruh manusia sudah pasti bersepakat bahwa anak adalah generasi penerus kita di puluhan tahun yang akan datang.

Di sinilah salah satu letak kepicikan kita sebagai orang dewasa, yang telah bersepakat dan sama-sama berharap bahwa anak generasi penerus kita, tapi sering sekali kita melakukan tindakan diskriminasi dan bahkan sampai pada kekerasan terhadap anak.

Inilah hal yang menyebabkan anak-anak Aceh usia 18 tahun ke bawah belum memiliki prestasi dunia. Sudah semestinya dan saatnyalah kita sebagai orang dewasa menyadari kesalahan dan kegagalan kita terhadap anak-anak. Karena tumbuh kembangnya mereka adalah bagian dari usaha kita.

Hari ini perbuatan orang dewasa sangat jauh dari kata baik terhadap anak-anak. Lihat saja anak perempuan di bawah umur masih terdapat kasus perdagangan dan eksploitasi seksual. Kemudian kita lihat juga masih ada anak bekerja di bawah umur, anak putus sekolah, dan lain sebagainya.

Berbicara anak kita harus melihat lima aspek sebagai daya tunjang tumbuh kembangnya. Pertama, kita dapat melihat dari perkembangan fisiknya, ini sudah jelas perkembangan fisik anak harus dilihat sejak anak dalam kandungan. Di sini berbicara gizi anak, asupan makanannya dan lain sebagainya yang menyangkut perkembangan fisik.

Itulah yang dimaksud dengan hak hidup yang diberikan kepada anak. Jika hal ini tidak kita berikan maka anak akan tumbuh dalam keadaan yang kurang sehat dan akan terlihat suram masa depannya.

Kedua, kita dapat melihat dari pendidikannya yang merupakan hal wajib dimiliki setiap anak. Kita orang dewasa dan pemerintah berkewajiban penuh dalam hal memberikan pendidikan untuk anak. Karena tingkah laku anak akan banyak didapatkan di pendidikan.

Selama ini berbicara pendidikan anak hanyalah cenderung pada sekolah, sehingga sering sekali orang tua mengeksploitasi jiwa anaknya untuk fokus bersekolah yang kerap membuat si anak dapat stres.

Memang berbicara pendidikan adalah hal yang baik, tapi bukan untuk diporsir dan kita juga harus melihat apakah yang kita berikan kepada anak termasuk pendidikan merupakan kepentingan terbaik untuk anak. Jangan-jangan yang selama ini kita berikan kepada anak, malah mencelakakan mereka.

Ketiga, pentingnya melihat aspek psikomotorik pada anak. Di sinilah kenapa anak belum dibolehkan untuk bekerja. Karena usia anak pada waktu untuk mengembangkan psikomotoriknya. Jika hal ini tidak kita berikan terhadapnya sebagai hak, anak itu akan paranoid dan cenderung tidak percaya diri.

Keempat, kita juga harus melihat dan memenuhi serta memberikan aspek sosial pada anak. Berbicara penanaman jiwa sosial kepada anak harus selalu ditanamkan. Penanaman jiwa sosial membuat anak akan mengetahui bagaimana suasana dunia yang dihadapinya sehingga memudahkan dia untuk belajar menjadi orang dewasa yang baik.

Ketika aspek sosial ini tidak mampu kita penuhi, jelaslah si anak sangat jauh menjadi anak dunia, karena sikap kepeduliannya terhadap lingkungan dan masyarakat belum kita ajarkan. Pengajaran tentang sikap sosial merupakan hak anak sehingga mereka dapat menjadi anak kritis dan anak yang akan mampu dan berani mengeluarkan pendapatnya.

Kelima, aspek spritual seperti uraian sebelumnya mengenai akhlak anak yang tidak baik. Di sini kita perlu memenuhi kebutuhan spiritual anak. Kita harus mengajarkan anak untuk dapat mengenal tuhan. Cara kita mengajarkan anak untuk mengenal tuhan adalah dengan memberitahukan apa yang dilarang dan di perintah tuhan sesuai agama masing-masing.

Aspek spiritual inilah yang membuat anak berakhlak baik, selama ini sering sekali kita menghukum anak ketika ada anak-anak yang melakukan kesalahan pada akhlaknya, kita sering memukulnya . Padahal menghukum anak dengan memberikan kekerasan fisik adalah hal yang salah. Anak melakukan kesalahan juga bagian dari sumbangsih kita sebagai orang dewasa.

Kelima aspek tersebut adalah hal yang utama pada tumbuh kembang anak. Kita pasti belum memenuhi aspek-aspek ini terhadap anak, sehingga anak-anak khususnya anak Aceh belum mampu untuk menjadi anak dunia.

Mari kita lihat kembali bahwa anak Aceh dikenal dunia bukan karena korban konflik dan korban tsunami seperti halnya Martunis. Tapi kita harus membuat anak Aceh menjadi anak dunia yang disorot atas prestasi yang diberikan anak Aceh pada dunia. Caranya kita orang dewasa dapat memenuhi lima aspek tadi terhadap anak-anak Aceh.

Satu kata kuncinya adalah, “berbicara anak bukanlah tanggung jawab orang tua, tapi adalah tanggung jawab kita semua, orang dewasa dan pemerintah”. Hak-hak anak harus kita penuhi secara maksimal, bukanlah setengah-setengah. Ketika kita melakukan setengah-setengah kita akan mengalami kegagalan generasi yang akan datang.

Kita didik anak-anak Aceh secara baik dengan memenuhi lima aspek untuk tumbuh kembang anak. Kemudian, ketika anak berbuat kesalahan berarti ada haknya yang belum kita berikan. Jadi untuk mengubah anak tersebut tidaklah dengan waktu yang singkat , tapi waktunya adalah seberapa lama kita tidak memberikan hak terhadap anak di sekeliling kita.

Ketika kita ingin menjadikan anak Aceh anak dunia kita harus mengubah prilaku kita terhadap anak dan memberikan hak-hak mereka. Hal itu tidaklah mudah, perlu proses yang panjang dan terus menerus dari kita sebagai orang dewasa. Seandainya hal ini kita lakukan maka bukan hanya Martunis anak Aceh yang dikenal dunia, tapi akan ada ratusan anak lagi yang dikenal dunia, maka jadilah “Anak Aceh Anak Dunia”.

Wartawan Magang ATJEHPOSTcom dan Anggota Koalisi Advokasi dan Pemantau Hak Anak

0 Komentar:

Posting Komentar